Minggu, 20 September 2009

Negeri Penuh Teka-Teki

Negeri Penuh Teka-Teki
By: Ana fadhilah

Aku melihat ribuan malaikat begitu memihak negeri ini.
Syukurlah! ibarat hutan kala petang,
dipenuhi ribuan kunang, terang, batin ini.

Tetapi, ku tak habis pikir, ketika jiwa penuh kepastian di dalamnya.
Ibarat butterfly bebas melapangkan sayapnya.
Ibarat putri malu dengan enjoynya menatap alam, damai, tenang,
tiba-tiba terusik oleh dimensi bermata tajam, kurasa itu elang.
Merunduklah dia, tanda ketidakberdayaan.

Mana, mana kunang-kunang itu!
Apa mereka mati begitu saja dengan cahaya yang ternyata membekas semu?
Ataukah mungkin mereka terkalahkan oleh dimensi penyebar racun busuk menusuk?

Ooh…dimana kau kancil, si cerdas pembawa keberuntungan?
Buktikan, keluarkan isi otakmu!
Selamatkan duniamu!

Syukurlah! Dewi Fortuna mulai tergugah memihakku.
Ah, tidak mungkin! ternyata dia mulai suka permata biru.
Padahal ku tak punya itu.
Ah sedih! begitu cepat kebaikannya kan jadi masa lalu.

Aduh gusti, harus kemana lagi kakiku memijakkan harapan.
Kemana harus kukejar kepribadian yang mulai memudar.
Ku sadari itu sulit, tapi asa harus tetap bersinar.
Hanya ada satu tangga ikhtiar.
Bersatu dalam terang, tiada kunang mata hatipun jadi harapan.

Namun, nasib…nasib…semua tergantung nasib!
Hanya doa selubungnya.
Demi martabat suci negeri ini.
Negeri penuh teka-teki tak bertepi.
Puisi ini aku tulis karena melihat kondisi keamanan Masisir yang bener2 diujung pedang. Masisir yang sering ketakutan tanpa bisa berkata dan berbuat apa2 "wong cilik" istilahnya, ke kanan bahaya, ke kiri bahaya, kl' nengah terus kok keliatannya kayak pecundang... jd serba salah tp tetap semangat buat Masisir...!

Cita Vs Cinta

CITA Vs CINTA

Cita vs cinta.
Benang-benang menyatu.
Kain memanjang.
Putih…suci.

Cinta…
Tali diantara dua terurai.
…cita.

Cita…
Kain putih,
kusut!.
Perlu…

Cinta…
Indah tapi…
waru belum menyatu!,
dalam batok siput,
dalam bekas kayu.

Cita…
Biar!.
Macan ngaung!.
Mringis!.
Ngakak!.
Perlu!...
tombak emas.

Cinta…
Paham!?
Ngerti!?
Belakang bengkok…
Perlu jalan depan…
lurus.

Cinta vs cita
Biarlah pergi!?
Resah?
Aruskan berganti!?
Kala terpampang nyata,
...depan mata.

Cita vs cinta
Duri-duri…mawar, salak, ikan…
Jalan!
Tegar!
Kuat! Bak karang…
untuk kanvas kehidupan,
dalam jari jari-Nya.


Sabtu, 20 Ramadhan 1429 pagi menjelang siang jam 10;32 di rumah si ira mustallast mo' buat kolom, wadow…eh innalillah padahal besok deadline, hiks2 idenya gk nongoll, ehm… gmn mo' nongol…kolom itu apa lom teuuu, he2! Buat puisi dech…..







Cerita keberangkatanQ Ke Kairo: Sebuah Kemenangan

Sebuah Kemenangan


“Ehm…Abah i’ndaka waqt qalil lii?” dengan bahasa blepotan aku memberanikan diri menemui Abahku, biasa caper (cari perhatian) agar mendapatkan izin dari beliau.

Seperti itulah fenomena yang ada di pesantrenku, PP. Tahfidzul Qur’an Al-Hikmah tepatnya di Kediri Jawa Timur. Pondok pesantren yang telah membesarkan jiwaku, meneguhkan hatiku, dan memupuk otakku dengan berbagai khazanah keilmuan sejak tamat SD hingga tamat Aliyah. Masih teringat waktu pertama kali datang, kelihatan sekali aku begitu polos, imut, culun bahkan pendiam. Kini tanpa disangka 6 tahun sudah aku menimba ilmu. Aku merasa mulai lebih dewasa disbanding sebelumnya, saatnya menentukan langkah dan membuat peta hidup baru. Sudah menjadi tradisi di pondokku ketika para santri hendak meminta izin pada Abah, mereka selalu membuat jurus ”merayu” biar dapat izin dengan lancar. Ada yang pura-pura membersihkan ndalem sebelum izin, ada yang pura-pura buatin teh untuk Abah, dan ada yang dengan cara lain, seperti aku. Aku mempunyai jurus merayu tersendiri yang tidak dilakukan oleh santri-santri lain. Aku selalu memakai Bahasa Arab jika berhadapan dengan Abah, maklum selain jurus buat meminta izin, aku juga salah satu santri jurusan MAK, sekolah khusus keagamaan di Aliyahku, identik dengan pelajaran-pelajarannya selalu memakai Bahasa Arab kecuali ketika pelajaran umum. Sedangkan beliau senang sekali jika diajak ngobrol memakai Bahasa Arab, karena Abah adalah salah satu alumni pondok pesantren di Mekah.

“Oh…li ayyi syai’?” jawab beliau sambil membuka gorden pintu pembatas antara ndalem dan ruangan-ruangan milik santri.

Sambil duduk dan nunduk tawadhu’ aku menjawab:” ana urid an atakhaddats a’n syai' finnafsi?” aduh…plong…rasanya, aku berani ngomong pada Abahku. Di pondok pesantrenku memang rasa tawadhu’ para santri pada Pak Kyai begitu besar, sehingga hanya khadimnya ndalem dan santri-santri pemberanilah yang bisa dekat dengan beliau. Padahal sebenarnya Abah sendiri mengajarkan pada kita untuk selalu berani, apalagi dalam masalah keilmuan. Tapi mungkin sudah tradisi yang mengakar sehingga menyebabkan kurang fairnya santri pada Pak Kyai. Rasa canggung dan takut masih sering hinggap di tubuh santri ketika berhadapan dengan Pak Kyai. Seperti inilah keadaan pondok pesantrenku. Aku sering menyebutnya dengan pondok salafi modern. Dibilang modern tradisi salafi sedikit-sedikit masih ada, seperti contoh kain sarung dalam kesehariannya masih sering dipakai oleh para santri, tidak terbatas buat shalat saja, budaya jalan nglesot sebagai tanda tawadhu’ ketika berhadapan dengan Pak Kyai juga masih kental, begitu juga kesederhanaaan dalam gaya hidup. Dibilang salafi, kebudayaan modern banyak ditemukan di pondokku. Pondok pesantrenku mempunyai 5 cabang, salah satunya pondok TQ, sedangkan induknya adalah PP. Al-Hikmah sendiri. Meski bercabang-cabang tapi sekolahnya tetap di satu tempat, menyediakan MTs dan MA. Keduanya tidak kalah modernnya dengan sekolah-sekolah lain terbukti laboratorium-laboratorium sudah lengkap di sana , karena sekolah itu mengikuti kurikulum resmi dari pemerintah. Ada berbagai macam jurusan di sekolah itu khusus untuk MA meliputi IPA, IPS, BHS, dan MAK sedangkan tiap-tiap jurusan mempunyai laboratorium sendiri-sendiri, bahkan jaringan internet sudah terpasang di lab. komputernya. Ufhg…menurutku salafi dan modern sama saja, tergantung bagaimana kita merealisasikan hasilnya dalam ibadah dan dakwah kita!

“Ooh…insyaallah ba’da dzuhur, ya Aina”

“Syukron…ma’as salamah?!” jawabku sambil berlalu pergi meninggalkan beliau.

”Alhamdulillah yes…kurang setengah langkah lagi semoga lancar?!” batinku.

Aku pergi menuju kamarku yang kebetulan letaknya lumayan jauh dari ndalem Kyai. Dari ndalem harus melewati dapur, kantin, lorong WTC, mushalla dan pentaghon. Pasti teman-temanku dari pondok lain akan bertanya, seandainya aku bercerita tentang pondokku, mereka penasaran dengan ruangan-ruangan yang diberi nama aneh seperti WTC dan pentaghon. Dan aku dengan pedenya akan menjawab bahwa sebenarnya WTC adalah WC pondok yang disulap menjadi sebuah ruangan persis lorong agak luas, ruangan ini direnovasi sedemikian rupa menjadi ruang serba guna untuk santri, bisa buat makan, belajar ataupun tidur. Karena asalnya adalah WC pondok, makanya para santri membuat nama plesetan yaitu WTC, kata teman-temanku biar lebih keren. Terus di sebelah WTC ada sebuah ruangan dekat kamar mandi untuk koperasi santri, menjual snack-snack dan peralatan sekolah. Terinspirasi dari gedung WTC ruangan ini disebut dengan pentaghon. Ceritanya di Amerika Serikat terdapat gedung pencakar langit terkenal di jagat raya namanya WTC, sedangkan di sampingnya ada sebuah gedung besar pusat informasi namanya pentaghon. Akhirnya para santri membuat peresmian nama untuk kedua ruangan itu menjadi WTC (bekas WC) dan pentaghon. "Aneh bin cerdas!" pikirku. Sedangkan kamarku ada di lantai dua di atas ruangan-ruangan itu. Dari kamarku kita bisa melihat pemandangan Sungai Brantas yang terkenal memanjang di Jawa Timur, karena pondok pesantrenku bersebelahan dengan Brantas hanya saja terpisah oleh tanggul yang menjulang tinggi sebagai pembatasnya. Sempat terbesit pikiran buruk di otakku, "wah…jangan-jangan kalau kebanjiran pondokku dong yang pertama tenggelam, dekat sekali sech dengan sungai itu. Ah…naudzubillah?!"

Sambil berjalan menuju kamarku aku ngomong-ngomong sendiri persis orang gila: ”aku harus mempersiapkan omongan ntar buat izin ke Abah, pokoknya aku nggak boleh goyah, masak aku tetep sekolah di Indo pakek bahasa Indo donk, aku kan jurusan MAK pakek bahasa Arab lagi pelajarannya, kalo' aku tetep di Indo mandek donk, salah satu kuliah yang makek Arab sepengetahuanku yah ngarah ke…Mesirlah, niatku sudah bulat ku ingin berangkat ke sana, titik, Abah dan Ibu Nyai nggak boleh melarangku" sambil memicing-micingkan mata dan mengepalkan tangan aku menasehati diriku sendiri ”Aina…kamu harus jadi seperti Dhomir Naa, dalam kondisi apapun tetap teguh pendirian, demi cita-cita. Lagian ibu Aina sendiri juga sudah mengizinkan meski harus ditunda, tapi ini kesempatan kali aja dengan test akhirnya ibumu mau mengusahakan, kamu nggak boleh uwanen di pondok, sahhilna ya robb?!”.

Sebenarnya waktu liburan setelah penerimaan ijasah kelulusan, para santri diperbolehkan pulang, disuruh berfikir antara meneruskan nyalaf alias hapalan bagi penghafal Al-qu’ran atau boyong keluar dari pondok. Begitu juga aku, tapi justru aku diantara keduanya, aku bingung antara meneruskan hapalan atau kuliah. Sepanjang hari libur aku berpikir lebih banyak untuk menentukan langkah selanjutnya. Jika aku meneruskan hapalan, sama saja tidak maju, wong aku orangnya kurang istiqomah, tidak mau diatur atau dipaksa dalam menghapal,. Ya sudah…pilihan terakhir, melanjutkan kuliah ke Mesir, kalau tidak masak ke IAIN seperti teman-temanku, sama saja Bahasa Arabku akan mengalami kejumudan, pikirku. Akhirnya setelah berpikir keras tentang itu, malam harinya kutemui ibuku. Beliau adalah orang tua tunggal dalam hari-hariku, ayahku telah meninggal ketika aku berumur 8 tahun. Sejak saat itulah ibuku adalah tulang punggung dan pengatur kehidupan keluargaku serta bertanggung jawab penuh dalam pendidikanku dan kakak-kakakku. Syukurlah, dari muda ibuku sudah bisa mandiri, mempunyai pekerjaan tetap dengan penghasilan yang lumayan cukup buat hidup kita. Dari situlah ibu membesarkanku dan keempat kakakku. Sering orang-orang iri dengan keberhasilan ibuku, padahal jelas-jelas ibuku adalah seorang janda, apanya yang diirikan, gumamku. Untung kakakku pertama sudah menikah sehingga dapat mengurangi beban ibuku, sedangkan aku dan ketiga kakakku nyantri dan sekolah di tempat yang berbeda-beda.

Waktu ayah meninggal dunia, aku sempat syok, tiada orang yang memanjakanku lagi karena aku lebih dekat dengan beliau dibanding dengan ibu. Ibu sibuk dengan profesinya. Setiap pulang sekolah aku selalu dipijatin oleh ayah, beliau tak akan membiarkanku kecapekan, kalau kemana-mana aku selalu diajak, maklum anak bungsu. Orang-orang menyebutku anak koretan padahal panggilan itu sangat aku benci, tapi justru itulah panggilan yang mendekatkanku dengan mereka. Sejak ayah meninggal kemanjaan itu pindah ke ibuku, beliau selalu mengajariku untuk mandiri, selalu optimis dan tidak boleh mengeluh dalam menjalani hidup.

Karena takut tidak bisa memperhatikanku dengan lebih akhirnya dari kelas 2 SD aku sudah disekolahkan di pesantren anak-anak. Sejak saat itulah mulai berkurang sifat manjaku, aku sadar akan keberadaan ibuku sebagai orang tua tunggal. Aku selalu menyanjung-nyanjung dan membanggakan ibuku di depan teman-temanku. Seandainya ada orang yang bertanya siapa orang yang paling kau cintai di bumi ini? Siapa tokoh di dunia ini yang menjadi motivator nomer wahid dalam hidupmu? aku pasti akan menjawab dengan bangga, meski dia bukan tokoh terkenal di jagat raya ini, tapi dia menempati separo lebih dalam duniaku, dia adalah ”ibuku”. Pasti aku akan menyebutkan pada si penanya, data perincian kebaikan beliau secara detail. Sambil mengeluarkan air mata salut aku akan menjawab dia super women, selalu optimis, pemberani, cerdas, sederhana, bijaksana dan lincah, aku harus menirunya.

“Ibu, Aina pengen ngomong sama ibu” aku membuka pembicaraan di depan ibuku.

“Ngomong apa Nak, kok kayaknya serius”. Jawab ibuku sambil duduk memelukku dari belakang.

“Ibu, Aina kan udah lulus, Aina kepingin nerusin kuliah, Aina nggak mau nyalaf di pondok” jawabku sambil membalas pelukannya dengan ciuman kasih sayang.

“Ooh…bagus itu, mau nerusin kemana sih Nak?” tanya ibuku dengan antusias.

“Ibu, Aina pingin nerusaken sekolah wonten Mesir” jawabku sambil berdoa dalam hati supaya gol, dikabulkan permintaanku.

“Apa…ke Mesir?! wah…cita-cita bagus Aina, kebetulan dari dulu ibu kepingin banget salah satu anak ibu ada yang berangkat ke Mesir, Al-azhar kan ? akan kudukung sepenuhnya nak, terus Al-qur’anmu gimana? nggak takut keteteran?” tampak sekali guratan kekhawatiran dari wajah ibuku.

“Yaelah Ibu, namanya aja Mesir, kan stok syeikhnya lebih banyak dibanding di Indo, lebih dekat dengan sanadnya lagi, pepeklah.”

Dengan mengelus-ngelus rambutku ibuku menjawab: “he..he..iyaya wah…bagus bagus, tapi tahun depan aja ya Nak, tahu sendirikan tahun ini ibu mau pergi ke Baitullah, terus masmu jadi mahram ibu, biayanya banyuak banget, ngalah dulu yah, terusin qur’annya hingga selesai, jadi pas tahun depan kamu bisa berangkat, gimana?.”

Sambil menahan sedih aku menjawab: ”ya udah nggak papa dech, Aina nyalaf dulu, yah…nggak sekolah donk, hiks…hiks…, janji yah tahun depan, pokoknya ibu sama mas berangkat dulu dech, doain Aina sekalian yah, muach?”. Aku berlalu pergi meninggalkannya, guratan kesedihan tampak di raut wajah ibu karena belum bisa menuruti keinginan anaknya. Dengan suara pelan tapi masih bisa aku dengar, ibu berkata: “ah…Aina yang sabar yah.”

Aku beranjak masuk ke kamarku sambil ngomong sendirian: ”aduh…ngoyot di pondok, bosennnn…, di pondok kayak penjara suci, meski suci tetep aja penjara hiks…hiks…help me Robb, please?!.”

---(@)---

“Assalamua’laikum…Abah.”

“Waa’laikumsalam…Aina, piye…piye…nduk? arep cerito opo?”Abahku mulai bertanya padaku.

Seperti biasa sambil menunduk dan membetulkan letak kacamata yang mulai melorot gara-gara dag dig dug dear menahan cemas aku berkata: ”gini Abah, Aina mempunyai sebuah cita-cita, nah selama nafas masih berhembus sebisa mungkin Aina akan menggapainya, dalam hatiku idih…sok puitis banget di depan Abahku.”

“Halah…opo cita-citamu iku?”

“Aina gadah kekarepan nerusaken kuliah wonten Mesir ”jawabku dengan bahasa Jawa, yang kuanggap paling sopan dan paling halus.

“Wah…bagus itu, aku dukung, Nduk.”

Alhamdulillah…dalam hati aku bergumam, udah deal satu langkah, tinggal nyes…meleset lancar. Beberapa detik kemudian…

“Ehm…tapi perlu diketahui nduk, Mesir itu termasuk Negara Arab. Dan di sana banyak sekali aliran yang mengatasnamakan firqoh Islam. Banyak aliran keras salah satunya Wahabi, IM (Ikhwanul Muslimin), Syi’ah dsb, aku takut kalau aqidahmu belum kuat bisa terpengaruh dan tergoyahkan oleh ajaran-ajaran mereka. Kamu harus hati-hati.”

“Insyaallah…Bah?!”

Tiba-tiba tanpa disangka, Ibu Nyai istri beliau datang dari kamarnya dan berkata: ”jangan…! jangan… ke Mesir dulu, tahun depan aja, khatamin dulu Al-qur’annya, sekalian ngabdi nerusin ngajar adek-adek kelas.”

Dalam hatiku: ”aduh…aku nggak mempersiapkan keadaan ini, gimana ini?”

“Halah Bu…biarin aja, wong ini cita-citanya kita ndak boleh nyegah!” kata Abahku menimpali omongan beliau.

“Loh Bah…disana sulit nyari syeikh yang sesuai dengan ajaranku, terlalu banyak sanad, ntar malah kocar-kacir, pindah sanad lagi, mendingan di sini dulu sampai dapat syahadah, terus ntar di Mesir tinggal belajar Qira’ah Sab’ah” jawab Ibu Nyai ngotot.

“Yah…di sanakan dia juga bisa memilih dan memilah sanad sendiri wong wes gede”bela abahku.

“Alhamdulillah…Abahku banget dech?!” pikirku.

Merasa kalah dengan Abah, Ibu Nyai mulai menyingkir kembali ke kamar. "Aduh…barangkali Ibu Nyai duko sama aku" gumamku.

“Ya udah nduk, tapi kuliah yo kuliah, hapalan yo hapalan,siji-siji ae, ojo dicampur, ntar malah nush-nush gak hasil karo-karone” Abah menasehatiku.

“Nggeh Bah….”

“Terus udah tahu informasinya belum?”

“Gini Bah kemarin teman Aina, Dina anak pondok induk, sama-sama jurusan MAK, yang duduknya di depan Aina itu lo Bah …

“Oh iya…iya kenapa?”

“Dia kemarin dapat informasi dari Kak Ahmad, kakak pondok induk yang sudah 3 tahun di Mesir, dia menyarankan pada kita untuk mendaftarkan diri mengikuti test Depag melalui mediator pengasuh pondok Bahrul Ulum, Tambakberas Jombang, kalau tidak salah nama pengasuhnya Yai Imam.”

“ …oh itu sahabatku dulu di Mekah dulu, sampai sekarang kita masih komunikasi, ya udah bagus itu, ntar kalau ke sana bilang aku yang menyuruhmu, terus ada testnya nggak?”.

“Oh…ada Bah, Insyaallah dekat-dekat ini ada test penyeleksian Calon Mahasiswa Baru Cairo, di IAIN Surabaya , dan untuk mempermudah administrasi makanya kita mau mendaftarkan diri lewat Yai Imam.”

Sambil manggut-manggut Abah menjawab: ”ya udah hati-hati, ditata dulu niatnya?!.”

“Nggeh Bah…syukron, assalamua’laikum.”

“Afwan…waa’laikumsalam.”

Yes…allhamdulillah tahap pertama lancar, dan aku tetap bertahan meski sebenarnya sifat plin-plan jadi momok terbesar dalam hidupku, terimakasih Allahku.

---(@)---

Setelah mendapatkan izin dari Abah, aku menghubungi ibuku, menembus izin keduakalinya tetap dengan senjata ”rayuan”, pikirku mungkin beliau akan membantuku dengan berbagai cara karena tergugah oleh berita pemerintah mengadakan ujian seleksi Calon Mahasiswa Baru Cairo, dan aku diperbolehkan oleh Abah untuk ikutan test itu melalui mediator yang terpercaya yaitu Yai Imam. Sengaja aku memilih ujian Non-Beasiswa, supaya tidak berhenti dari bangku sekolah meskipun hanya setahun. Dan ternyata benar, ibuku bersedia membantuku sebisa mungkin apabila aku lulus seleksi Depag apalagi beliau tahu aku berangkat dengan teman sekelasku jadi beliau tidak begitu khawatir untuk melepaskanku. Alhamdulillah… alunan lafadz syukur tidak berhenti keluar dari mulutku mengingat kelancaran tahap kedua ini meski lumayan maksa ibuku, ah…biarin daripada berhenti sekolah meskipun hanya sementara, aku tidak mau, aku yakin Allah Maha Kaya apalagi buat orang-orang yang ingin menuntut ilmu.

---(@)---

Besoknya, aku dan temanku Dina berangkat ke rumah Yai Imam, mediator keberangkatanku ke Mesir. Aku diantar kakak laki-lakiku sedangkan Dina diantar oleh ayahnya, maklum hanya kakaklah satu-satunya saudara laki-lakiku, ayah sudah meninggal, kakak-kakak yang lain perempuan semua dan sudah berumah tangga, tinggal aku dan dia yang belum menikah. Dialah yang banyak membantu dalam keberangkatanku ke Mesir disamping ibuku.

Setelah sampai di rumah mediatorku Yai Imam, kita berbincang-bincang mengenai pemberangkatan ke Mesir, mulai masalah pembayaran administrasi hingga persyaratan-persyaratan yang harus dipenuhi dan tidak lupa menyampaikan salam dari sahabatnya yang tidak lain adalah Abahku sendiri. Beliau sempat kaget kalau ternyata aku adalah salah satu murid dari sahabatnya, beliau bercerita panjang lebar tentang kehidupan mereka di Mekah dulu. Dan beliau tidak kalah kagetnya ketika mendengar penuturan dari Dina bahwa dia termasuk salah satu murid adik iparnya. Akhirnya silaturrahim antar keluargapun makin terjalin. Kemudian terakhir sebelum kita pulang dia berjanji akan menghubungi via telepon jika ada keterangan selanjutnya.

---(@)---

Hari yang mendebarkan tlah tiba, tepat tanggal 25 juli 2006 aku dapat telepon dari Yai Imam. Beliau mengabarkan bahwa lusa mulai test seleksi CAMABA Cairo di IAIN Surabaya , dan lusa aku disuruh ke kediaman beliau, supaya terkoordinasi dengan baik, kebetulan teman semediatorku yang juga akan mengikuti test ada 16 laki-laki dan 4 perempuan. Sontak mendengar kabar itu Abah, Ibu Nyai, dan teman-temanku sepenuhnya mendukungku dan mendoakanku agar diberi kelancaran. Mereka begitu bangga dengan tekadku, mengingat aku adalah santri pertama dari PP.TQ Al-hikmah yang akan meneruskan kuliah jauh di negeri orang, Mesir, perempuan lagi. Merekalah salah satu motivatorku. Tapi satu yang membuat hati sedih dan gelisah, jika lulus secara otomatis aku akan meninggalkan mereka. Sedangkan aku merasa belum bisa membalas kebaikan mereka, belum bisa mengabdi pada kedua pengasuhku, Abah dan Ibu Nyai.

“Ah…Insyaallah jangan khawatir akan kubuktikan pada mereka bahwa aku akan berhasil membangun agama, bangsa dan Negaraku Indonesia , tak lupa dengan pondokku tercinta. Akan kupertahankan prestasi-prestasiku demi diriku dan semuanya” gumamku lirih.

---(@)---

Hari menjelang malam, fatamorgana siang telah ditelan kegelapan. “Wah…Dewi Malam mulai membiaskan dan memamerkan sinar kecantikannya…anggun, jadi iri "batinku sambil mendongakkan kepala menikmati keindahan singgasana langit malam. Tapi tampaknya malam ini Sang dewi sedang malu memperlihatkan seluruh permukaan wajahnya. "Wow…bulan sabit, Subhanallah indah sekali!", kapan yah aku bisa bersanding dengannya, terbang melayang menikmati keindahannya dari dekat?, ah…mulai sekarang akan kucoba sedikit demi sedikit membentangkan sayapku, terbang tinggi menyusul Sang Dewi, tidak apa-apa dech meski harus perlahan-lahan, yang penting aku harus bersungguh-sungguh, ah…jadi melamun pokoknya lusa aku harus berhasil mengerjakan soal ujian, Sahhilna Ya Robb, Amien!? kuingin menggapai angan-anganku” gumamku saat perjalanan menuju rumah Yai Imam mediatorku, seperti biasa aku boncengan dengan kakakku dan temanku Dina bersama dengan ayahnya, memang sudah menjadi peraturan, kalau mau keluar dari pondok, baik pulang atau sekedar jalan-jalan asalkan jauh, harus dijemput oleh mahramnya masing-masing.

---(@)---

“Ayo…yang perempuan naik bus sama Ustadz Muhammad, yang laki-laki naik kereta api barengan Ustadz Ibrahim, ntar kalian ketemuan di masjid yang ada di tengah-tengah terminal Bungurasih, hati-hati barang-barangnya! banyak copet berkeliaran di sana ” itulah sekilas pengumuman sekaligus nasehat dari pak yai imam sebelum kita berangkat menuju IAIN Surabaya.

“Baik…Yai” jawab kita serempak.

Sesuai petunjuk Yai Imam kita berpencar laki-laki naik kereta api dari stasiun Jombang, sedangkan kita perempuan naik bus AC, “wuih…selalu saja perempuan dimulyakan, ah…kelihatan lemahnya” batinku miris.

“Eh…Dina katanya selama ujian kita nginap di asrama mahasiswi yach?”

Sambil manggut-manggut Dina menjawab: “yups…tempatnya di dekat kampus paling depan, dekat masjid gitchu, katanya Ustadz Muhammad sech, terus cowoknya di asrama mahasiswa, jauh di belakang kampus. Eh Aina kamu tahu gak kalo’ temen kita Si Kriwil, he…he…ikutan test ke Mesir juga loh!”

“Suwer…kok Aina nggak denger yach, wah…diem-dieman nih ceritanya!”

“Iya…tapi dia nggak terjun bebas kayak kita, dia ikut test Beasiswa di suruh Pak Yainya”

“Ooh…nggak papalah beda aliran, yang penting keinginan kita berdua lulus langsung terbang, gak perlu nunggu setahun, lagian beasiswa rumit banget pakek ujian ini ujian itu, halah.”

---(@)---

“Aduh Dina!!! Gimana ini, kamu kok gak ngomong sech kalo’ ujian wajib makek sepatu, Aina gak bawa sepatu nich, pemerintah tuh aneh apa hubungannya sepatu sama soal ujian, kurang setengah jam lagi masuknya, untung aku dah siap, kampus tempat ujian dekat, tinggal sepatu nih?” rengekku pada Dina, sambil mondar-mandir kebingungan nyari jalan keluar. Memang sejak tamat Aliyah, aku lebih suka memakai sandal setiap kali keluar pondok, yang pasti bukan sandal jepit. Bagiku sandal adalah alas kaki bak permadani terbang, rileks apalagi sandal Homyped yang biasa di pakai kakakku.

“Ya udah Aina sayang, makek ini dulu,” respon Dina sambil nyodorin sepatu cewek warna putih ada motif bunga warna pink, ”ini punya anak asrama yang tidak pulang kampung, kamarnya di sebelah kita”

“Aduh…gak banget dech, kamu tega! masak Aina suruh makek sepatu cewek ada bunganya lagi!”

“Na…kamukan cewek, masak cowok, udah dech wong sementara doank lagian gak ada yang kenal ma kamu, dasrun…cewek tom…

Belum sempat Dina nerusin omongan, aku memotongnya ”iya…ya Dina manis, kayak ibuku aja.”

Usai mempersiapkan seluruh perlengkapan ujian, aku dan ketiga temanku Dina, Nila, Meta berangkat ke kampus tempat khusus untuk test. Hari pertama semua peserta test diharuskan mengikuti ujian tulis.

Ujian berlangsung dengan tenang, khidmat dan awalnya lumayan menegangkan mungkin karena ada pengawasnya, tapi seiring dengan menghilangnya pengawas dari permukaan ruang ujian, ufgh…suasana berubah drastis bak Pasar Klewer bubar. Yang depan ke belakang, yang belakang ke depan saling menyontek tak berdosa.

Dalam hati aku menggerutu, jiwa emosionalku yang tinggi mulai kambuh: ”aduh test apaan ini, katanya peraturan pemerintah buat seleksi CAMABA Cairo, tapi mana tanggung jawab dari pengawasnya! kalo’ kayak gini mana bisa aku konsentrasi, meski soalnya lumayan sech…lumayan sulit maksudnya, tapi ketertiban kan harus dijaga, jangan…jangan apa bener yach omongan dua orang sebelum aku masuk kelas tadi, meski omongannya lirih aku sempet nguping kok, aduh…bener dech test ini hanya formalitas belaka, yach lebih tepatnya akal-akalan pemerintah. Eh…Aina jangan suudzon! Pemerintah buat cara kayak gini biar calon duta pelajar Indonesia yang berangkat ke Mesir adalah orang-orang berkualitas. Aduh…jadi runyam!” aku mengerjakan soal sambil melamun, ada pergulatan di hati, rasa kesal, tidak terima atau lebih tepatnya emosi tak sampai menyatu dalam hati dan terkadang juga menasehati diri sendiri, untungnya Si Dina tetap saja bisa konsentrasi meski suasana tidak begitu indah, walhasil akupun bisa meniru dan mencoba konsentrasi penuh seperti dia.

---(@)---

“Hmm…emang sampean itu siapa mas, berani-beraninya ngelawan saya hah!?” terdengar suara bentakan yang berasal dari ruangan kecil di lantai satu dekat tangga.

“Loh Pak kenyataannya memang saya sudah melunasi seluruh biaya administrasi anak-anak bimbingan saya, 32 orang. Masak bapak narik lagi 50 ribu perkepala?!” jawab orang di sebelahnya.

“Ya…udah gampang, sampean ingin anak-anak sampean lulus apa ndak, wong jelas-jelas di ijazah mua’dalahnya ndak ada stempel resmi, pokoknya saya kasih kesempatan dalam seminggu sampean harus bayar 2 juta wes ke saya. Kalau tidak yo jangan nanya…”sambil berbisik-bisik di dekat orang di sebelahnya tapi masih bisa bocor di telingaku dia berkata: ”asal tahu aja mas, saya ini kepala administrasi pemberangkatan ini, di sini, nasib anak-anak sampean ada di tangan saya!” sambil mengusap-usap kepalanya yang botak dengan sedikit rambut di belakangnya, orang yang mengaku kepala administrasi itu berlalu pergi meninggalkan dia dengan senyum sinis menyakitkan.

“Astaghfirullah…gak salah denger nich, ada apa ini?” batinku mengamuk.

Tiba-tiba kepala administrasi itu menghampiri seorang cewek seumuranku, kebetulan ada di dekatku lumayan jauh sih, sambil berkata dengan nada agak keras.

“Kalau ini saudaraku?! Sambil merangkulnya dengan bangga,…tenang nduk, ibumu tadi sudah menitipkan kamu padaku”

“Masyaallah…kali ini mataku terbelalak, dengan mulut bergerak-gerak refleksi dari emosi batinku yang membuncah tapi masih bisa terkendali…kok makin mumet aku, hari pertama ujian tak ada pengawas, katanya test hanya formalitas belaka, penguasaan dan penentuan kelulusan oleh oknum-oknum tak bertanggung jawab, terakhir penarikan uang administrasi tambahan yang mengatasnamakan stempel ijazah…kayak risywah aja…selidikku persis Detektif Conan. Ah…Aina jangan suudzon lagi, kamu hanya orang kecil, ngikut aja”…nasehatku sendiri.

Itulah sekilas pembicaraan antara dua orang yang tanpa sengaja aku dengarkan sampai selesai, tepat ketika aku dan ketiga temanku melangkahkan kaki melewati tangga menuju lantai dua untuk mengikuti ujian lisan Al-qur’an di hari kedua.

“Din…kamu denger pertengkaran di ruangan kecil tadi gak?” tanyaku pada Dina.

“Dimana…oo di sono, sambil menunjukkan jarinya ke arah bawah…nggak tuh!?”

“Dasar! Dina boski!”

“Yee…eike kan gak suka nguping, ha…ha…”

“Buk….!” aku memukul Dina sambil melototinya.

“Adoww…pis..pis?! udah hapalan dulu, bentar lagi giliran kita maju loh, kamu hapal berapa?”

“Kuakuin kalo' telingaku peka banget serta emosiku akan selalu meledak-ledak jika ada kejahatan apalagi kecurangan dalam masalah politik, ha…ha…, eh ya 2 doanglah, orang syaratnya segitu, tahu gak 2 anak yang papasan ma kita tadi, mereka ngobrol, kayaknya meski syaratnya harus 2 juz, tapi dia hapal Al-Fatihah aja gak masalah, kerenkan…tapi menurutku lulus tidaknya kita gak tahu, he…he”

“Dasrun…tuping, tukang nguping.”

“Dina...gak sengaja kok…!”

---(@)---

Aku dan ketiga temanku tengah berkemas ketika sepotong kepala berjilbab menyembul dari balik pintu kamar asrama, semakin lebar pintu itu terkuak, semakin luas jalan untuk melewatinya dan semakin kelihatan pula seluruh tubuhnya. Perempuan itu masuk kamar yang aku tempati selama ujian 2 hari 3 malam.

“Kalian sedang apa?” ujar orang tadi yang ternyata ibu pemilik asrama.

Sambil menoleh ke arahnya Dina menjawab:” oh Ibu…kita sedang berkemas-kemas"

“Loh memangnya udah selesai ujiannya, cepat sekali mbak?!.”

“Udah Bu, baru aja selesai satu jam-an yang lalu.”

“mbok yah istirahat dulu tho mbak, nginep lagi malam ini, gak bayar ndak papa, kalian rumahnya jauh, ntar kemalaman gimana, perempuan lagi?!”

“Ooh…gini Bu, rencananya kita mampir dulu ziarah ke Sunan Ampel, lama tidak ke sana, malamnya kita nginap di rumah saudaranya Si Nila, di Surabaya juga kok, baru besoknya kita balik ke pondok masing-masing Aina sama Dina ke Kediri, terus Nila ke Ponorogo sedangkan Meta ke Jombang, tapi ya gitu kita mampir dulu ke Ramayana, biasa remaja jalan-jalan refreshing he…he…” jawabku sambil cengengesan.

“Oo…ya udah kalo’ gitu, ibu ndak maksa, tapi hati-hati mbak sekarang malam jum’at, makam Sunan Ampel rame banget!?.”

“Ya…Bu trimakasih buanyak” jawab kita serempak.

---(@)---

Perjalanan hidup siapa bisa menebaknya, terkadang sesuai dengan keinginan manusia terkadang juga sebaliknya. Kalaupun toh tak sesuai, pasti ada agenda lain dari-Nya, yakinlah itu yang terbaik. Meski perjalanan hidup tetap ada di tangan-Nya. Tapi tangan-Nya akan selalu terbuka lebar untuk makhluk-Nya. Kesempatan untuk tetap berusaha, berdoa, dan bertawakkal. Ingat! Hanya Dia sutradara hidup, manusia hanya aktor dalam perfilmannya. Siapa bisa berperan dengan baik, maka dijamin dia akan mendapatkan honor besar di akhirat kelak. Bagaikan nasabah yang selalu menabung ibadah untuk kebahagiannya sendiri. Kebahagiaan di atas kebahagiaan.

"Aina sehat?" suara di seberang sana menyapa pagiku.

"Oh…iya sehat Ustadz, ini Ustadz Muhammadkan?"

"Iya…gini Aina, mau kabar baik atau buruk?"

"Yang baiklah Tadz"

"Alhamdulillah kamu sama Dina lolos test yang kemarin, kalian berdua diperbolehkan berangkat ke Cairo tahun ini!?"

"Wallahi…Pak, eh Tadz! Wah alhamdulillah banget gak rugi dong doanya, hampir satu bulan dag dig dug dear daia terus tadz he…he, terus siapa lagi Tadz selain Aina?"

"Ehm ada-ada saja…oiya untuk perempuan cuman kalian berdua, yang lain belum rizqi, nilainya di bawah standar, sedangkan untuk laki-lakinya semua lolos kecuali 4 orang, kamu pasti gak kenal.

"Ya…Allah sabarkanlah mereka, amien?! terus selanjutnya gimana Ustadz?"

"Selanjutnya kamu harus melengkapi administrasi pemberangkatan, yach buat paspor dll, untuk Karisedenan Kediri dan sekitarnya kantor imigrasinya di Blitar, ntar Ustadz antar, oiya segera kabari orang tua biar secepatnya melunasi pembayaran dan tolong beritahu kakakmu lusa suruh ke Yai Imam buat tanda tangan surat jaminan dari beliau, insyaallah ramadhan akhir kalian berangkat."

" Surat jaminan apa tadz?"

"Oh…kamu belum tahu yah, gini tahun ini pemerintah mewajibkan pada setiap CAMABA Cairo, ehm…untuk membuat surat jaminan secara formalitas yang menunjukkan bahwa orang tuanya mampu membiayai hidup anaknya selama di Cairo dengan nominal uang 25 juta per kepala, nah rata-rata orang tua pasti angkat tangan, untuk itu Yai Imam mau membantu mengusahakannya, udah pokoknya kakakmu suruh ke sana ya…"

"Haa…25 juta, gak salah, ada-ada saja pemerintah ini, aneh pikirku dalam hati, ah…mungkin emang ada baiknya, biar gak kocar-kacir keteteran kali yah hidup anaknya"

"….oohh Syukron Ustadz?!"

"Afwan…ma'assalamah.

"Wa'alaikumsalam"

"Alhamdulillah Ya Robb…! tahap ketiga sukses!" tak terasa aku sudah bersujud di atas karpet ndalem, tepat di bawah telepon, sujud syukur pada-Nya, "wah…apa rencanamu yang sesungguhnya Robbi? aku hanya menjalaninya, semoga ini yang terbaik, amien. Sekarang tanggal berapa yah, gumamku, oh tanggal 18 agustus 2006, ah…akan kucatat jadi hari bersejarah dalam hidupku! selanjutnya tahap keempat alias terakhir yaitu nembus proposal ke Presiden Keluarga "My Mom…" tercinta, semoga berhasil, amien!".

---(@)---

Hampir dua hari aku tidak bisa tidur dengan nyenyak, tepat 3 hari setelah berita pengumuman kelulusan, detik-detik terakhir berat sekali mengatupkan kelopak mata. Dua hari aku berkemas-kemas akbar, membereskan barang-barang yang akan aku bawa pulang, pulang selamanya alias "boyong" para santri menyebutnya seperti itu. "Kenapa harus ada perpisahan? seandainya Mesir bisa kuboyong ke sini mungkin gak sesedih ini, ah…emang Jinnya Nabi Sulaiman yang diberi kelebihan bisa mindahin kerajaan Ratu Bilqis? " batinku miris.

"Dek Aina kenapa kok kelihatannya sedih?" kata kakak kelasku sekaligus teman dekatku, Mbak Rifa.

"Hari yang tidak aku harapkan tetapi sangat aku idam-idamkan telah tiba Mbak!?"

"Loh maksudnya?"

"Yah…hari yang aku idam-idamkan, karena aku lulus dan sekarang saatnya aku harus keluar dari pondok tercinta ini, pondok yang sudah aku kuras ilmunya selama 6 tahun, dan menurutku belumlah cukup mbak. Tapi kuyakin ini yang terbaik demi peta hidup yang sudah aku rencanakan. Tapi hari ini juga, hari yang tidak aku harapkan, karena aku harus meninggalkan kalian, orang-orang yang menyayangiku dan mencintaiku, Ibu Nyai, Abah dan teman-teman semua. Aku belum sempat mengabdi pada mereka Mbak?!".

"Aina dengarkan Mbak! pergi…pergilah jauh gali ilmu! jadilah kau pelanggan ilmu, kulaan terus sana sebanyak-banyaknya, demi pondok kita, agama dan Negara. Mereka butuh orang sepertimu, setelah selesai ingat amalkan dan sebarkan hasil kulaan ilmumu. Kita gak sedih kok kamu tinggal malahan kita bangga pada adek, tapi tetap ingat tanggung jawab, okey!"

Aku mondar-mandir sibuk membereskan barang-barangku. Untung sebagian ada yang sudah dibawa pulang tinggal sebagian yang lain. Aku mulai pamitan satu persatu pada teman-temanku meminta keikhlasan dan ampunan dari mereka. Ketika berpamitan ada salah satu teman yang bisa membuat aku sedikit tersenyum.

"Cieee…yang mau jadi penerus Mbak Cleopatra, wah…kalo' jadi orang Arab jangan lupa ma kite-kite yah Mbak Aina".

"Halah ngawur sampean iku dek…kalo' Mbak Aina berubah jadi persis orang Arab gak mungkinlah, malah kalo' berubah sampean jadi bingung pas ketemu aku he…he…"

"Mbak…salam ke Mas Fachri yah, dari salah satu fans beratnya he…he…"

"Aduh para santri dah kena sindrom novel ayat-ayat cintrong ni ye?"

"Wah…aku yang baru baca aja mbak, serasa di Mesir keren emang kang Abik, aku salut ma novel spiritualnya, salam ke dia juga mbak kalo' ketemu sech, coba difilmin aku ngantri jadi Aisyahnya pakek cadar hua…hua…!"

"Hush…gak boleh ngakak,ehm…pasti serulah, tapi kalo' yang jadi Aisyahnya adek, aduh…jangan dech ntar kalo' pakek cadar malah gak keliatan hidungnya, tambah ndlesep, he…he…besok harus ada yang nyusul Mbak Aina ke Mesir lo, Mbak tunggu!"

Memang bisa tidak bisa hari ini aku harus keluar dari pondok, masih banyak hal lain yang perlu aku lakukan di luar sana meski berangkatnya masih 1 bulan lagi. Justru 1 bulan itulah akan aku manfaatkan sebaik-baiknya sambil menghirup udara dan menikmati dunia luar pondok. Terakhir aku berpamitan pada Abah dan Ibu Nyai. Rasa sedih mulai menyerang kembali, rasa belum puas untuk selalu berguru pada beliau berdua serasa menyesakkan jiwa, hanya sebuah keteguhan dan kepercayaanlah yang bisa membuatku bertahan.

Ada beberapa nasehat yang masih terngiang-ngiang dalam otakku, nasehat YTP (Yang Tak Terlupakan), nasehat seorang demokratis, pikirku: "Aina…seorang guru bagaikan penggembala, yang membawa gembala-gembalaannya ke tepi sungai. Dia tidak menyuruh mereka untuk minum. Merekalah yang akan menentukan dirinya sendiri. Aku percaya padamu, tetap semangat untuk agamamu jangan takut dikatain ambisi, Islam sendiri selalu mengajarkan umatnya untuk berambisi, Wa jaahiduu fi sabilillah! Jihadlah di jalan Allah! Tetap jaga aqidahmu!". Tak terasa mata merah sembap menahan tangis mendengar penuturan orang yang selama ini aku kuras ilmunya, memberi ilmu tanpa pamrih. Terlebih ketika bersalaman dengan Ibu Nyai, guru Al-qur'anku yang sangat disiplin dan tlaten menyuruhku untuk selalu rajin mengaji serta mengkaji Al-qur'an, meski aku selalu bandel. "Ya Robbi…maafkan aku, aku berjanji akan membawa nama besar beliau berdua, amien" batinku lirih di sela-sela tangisanku.

---(@)---

Sebenarnya menjelang 1 bulan terakhir dari pemberangkatan ke Mesir, tepatnya setelah aku keluar dari pondok, aku disuruh ibu tinggal di rumah, liburan melepas kangen setelah lama di pondok apalagi mau pergi jauh. Ibu ingin puasa ramadhan aku berada di rumah. Namun, dasar aku yang sudah terbiasa jauh dari ibu, memutuskan untuk mendalami komputer khusus di bidang office plus Bahasa Inggris di Pare, tempat yang terkenal dengan English campnya, daerahnya lumayan dekat dengan rumahku, aku hanya mengambil Paket Ramadhan. Aku berfikir belajar keduanya akan sangat bermanfaat untuk bekal sekolah di Cairo, pasti ntar bakal ada skripsi layaknya di Indonesia. Aku jalani dengan mengekos salah satu rumah penduduk. Sekamar dua orang. "Wuih…suasana luar yang belum pernah aku bayangkan, lingkungan berbahasa Inggris" pikirku, satu yang membuat aku ngeri, kehidupan serba bebas, jauh dari orang tua. Laki-laki dan perempuan bebas bergaul. Untung ibu kosku memberi batasan untuk anak-anaknya, jam 11 malam harus sudah ada di rumah. "Wah…bagaimana yah kehidupan di Mesir, persiapkan jiwa dan raga, jaga hati!" renungku sesaat dalam diam.

Setiap pagi dan ba'da dhuhur aku kursus Bahasa Inggris, sedangkan sore harinya sambil menunggu buka puasa plus ba'da trawih kursus computer, memang melelahkan tetapi mengasyikkan, puasa ramadhan seakan-akan tidak terasa karena dijalani dengan berbagai kesibukan.

Aku sangat menginginkan bisa kursus dengan puas dan lebih lama bersama teman-teman baruku selama ramadhan penuh, sampai hari ini…

"Na…ada yang nyari tuh di depan, kayaknya kakakmu"

"Oh…thanks" kataku sambil melangkahkan kaki mengambil sandal dan pergi ke depan kos-kosanku.

"Oh Mas… ada apa?

"Na…gini kemarin aku ditelpon katanya seminggu lagi kamu berangkat ke Cairo , so pulang aja yuk, kasihan ibu dan mbak-mbakmu, kangen terus lo kepingin puasa terakhir ma kamu, sekalian mempersiapkan segalanya yang akan kamu bawa ntar ke Mesir! terakhir gitu, udah selesaikan kursusnya?"

"Iya mas, aku juga sudah dicall Dina kalo' berangkatnya seminggu lagi, akhirnya kemarin aku sengaja ngajak ngebut guru kursusku, ngetrel he…he…sekarang tinggal ngambil sertifikat".

"Oh…ya udah aku aja yang ngambil, kamu siap-siap yah"

"Ok!

Perasaan baru kemarin aku kenal dan sudah mulai bisa beradaptasi dengan teman-teman baruku, tuntutan untuk berpisah kembali menghantui, Yah…sekali lagi, ada saja kata perpisahan untuk sebuah pertemuan. Syukurlah mereka bisa memaklumiku bahkan mendukungku dan berjanji akan tetap saling berkomunikasi.

---(@)---

"Ibu bentar lagi Aina ke Mesir, ibu harus jaga diri ya, jangan lupa selalu doain Aina, oh iya…ibu fardlu a'in nulis di halaman depan agenda Aina, biar kalo' kangen atau lagi kurang semangat, bisa langsung baca nasehat ibu, okey ibu?! ini agenda Aina," dengan semangat aku sodorkan agenda warna hijau ke ibu, sedangkan ibuku hanya nurut begitu saja mungkin sedang bingung, rasa senang, bangga, gelisah, sedih dan khawatir menumpuk jadi satu di benak beliau melihat beberapa jam lagi aku harus pergi ke rumah mediator, berkumpul dengan 15 temanku yang juga mau berangkat bersama ke Mesir. Sementara aku, sebenarnya juga merasakan hal yang sama dengan ibuku, tapi sebisa mungkin aku tidak akan pernah mengeluarkan air mata di depan Sang permata hatiku, ibunda tercinta.

Sejam kemudian ibu menyodorkan kembali padaku agenda hijau itu: "Ini Nak, agendanya, maafin ibu yang belum bisa sempurna, belum bisa menjadi yang terbaik buat Aina, jangan seperti aku, jadilah yang terbaik melebihiku, dengan mata berkunang-kunang ibuku berkata seperti itu, jaga diri Nak!?"

"Alaah…Ibu, Aina insyaallah pasti bisa menjadi yang terbaik dan bisa jaga diri seperti yang ibu inginkan, tenang saja, saya janji, okey! syaratnya satu, jangan pernah menangis karena aku, janji!? He…he…pede"

Sambil tersenyum dan memelukku ibu menjawab: "iya iya…ini tadi abis ngiris-ngiris bawang merah, jadi keluar air mata, ibu janji Nak! ibu nangis karena bahagia sayang?! anak buntutku udah gede, perawan dan dewasa"

"Yaiyalah ibu he…he…anak siapa?" jawabku sambil membusungkan dada di depan ibu dan mengacungkan jempol miring ke arah pipiku.

"Ha…ha…tawa ibuku dengan mengoyak-ngoyak jilbabku, ayo berangkat yang ngantar cuman masmu, temannya mas, mbakmu Anik terus ibu, tahu sendirilah mbak-mbakmu yang lainkan pada sibuk jadinya harus pulang setelah jenguk pamitan sama sampean, gak papa yah, jangan sedih, kami sayang kok sama Aina, oiya ntar buka puasanya kita mampir aja dimana gitu, lagian ibu tadi juga udah nyiapin bekal"

"Okey Boss…"

---(@)---

"Apabila telah datang pertolongan Allah dan kemenangan. Dan kamu lihat manusia masuk agama Allah dengan berbondong-bondong. Maka bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu dan mohonkanlah ampun kepada-Nya. Sesungguhnya Dia adalah Maha Penerima Taubat"

Aku berdiam diri di mushalla putri Bahrul Ulum, setelah melaksanakan shalat tarawih, untuk menenangkan hati kubaca ayat demi ayat, kuresapi maknanya ketika tepat di QS: An-Nashr 1-3, aku terus bertashbih menyebut asma-Nya, meski secara tekstual ayat tersebut menjelaskan kemenangan umat Islam atas masuknya orang-orang kafir ke dalam agama Allah. Tetapi sungguh aku merasa terkesima dengan makna yang tersirat darinya, aku baru sadar Subhanallah…!kemenangan terbesar itu bernama nikmat. Kala ibuku harus membiayai dirinya sendiri dan kakakku untuk menunaikan ibadah haji, seakan-akan pupus sudah harapanku untuk kuliah ke Al-Azhar namun kenyataannya mengatakan sebaliknya, kenikmatan dari Allahlah yang membuat ibuku bisa memberangkatkan aku sekaligus ke Cairo pada tahun yang sama. Aku yakin, dimana ada keinginan di situ pasti ada jalan, sekali lagi Allah Maha Kaya. "Subhanallah, syukron Ya Robbi."

Aku mendekati keluarga yang mengantarkanku, kuucapkan banyak terima kasih kepada mereka terutama ibu dan kakakku, orang-orang yang selalu menyayangiku, waktu mereka terkuras hanya untukku. Aku melihat raut kesedihan mulai menghiasi wajah ibuku. Yah…ibu yang selalu sabar dan tlaten mengasuhku, harus aku tinggal lagi, kali ini lebih jauh biasanya mungkin sebulan sekali bisa ketemu, sekarang entah berapa tahun lagi aku bisa berkumpul kembali, hanya demi sebuah cita, cinta dan harapan mereka.

Aku menghibur ibuku supaya tidak menangis, aku berkata pada beliau dengan menggoda sambil memegang jilbabnya aku berujar: "iihhh…ibu loh kelihatan awet muda kalo' pake jilbab borgo warna ini, wah…mudanya pasti lebih cantikan ibu dibanding aku, tapi kalo' nangis kelihatan jelek, he…he…"

Kontan semua menertawakanku dan ibuku mencubitku sambil berkata: "ada-ada saja, udah ah ibu pulang dulu yah, ntar kalo' udah nyampek bandara telpon, kalo' udah nyampek Cairo sms aja, yah…hati-hati Nak, jaga diri baik-baik"

"Ibu juga jaga diri baik-baik, jangan kemana-mana, udah yang rajin aja nabung buat akhirat, ridhai dan doakan Aina Bu yah, biar Aina tenang"

"Selalu nduk, selalu aku ridhai dan kudoakan, kamu juga harus doain kami, gak usah pulang kalo' belum lulus."

"Haa…ya udah dech gak papa, pokoknya pulang udah tersedia…ehm…jodohnya, he…he…" ujarku sambil cengengesan.

"Oo…dasar anak koretan, aku duluanlah baru kamu…!"ujar kakakku gemes.

"Yee…!" jawabku sambil menyalami mereka satu per satu.

Ya Robbi, sabarkanlah serta ridhailah hamba dan keluarga hamba, amien" gumamku lirih menahan sedih.

"Assalamua'laikum…" ucap mereka serempak di dalam mobil sambil melambai-lambaikan tangan, mereka meninggalkan aku sendiri bersama teman-temanku di rumah Yai Imam, mediatorku. Sengaja mereka tidak mengantarkanku ke Bandara Jakarta, maklum mereka mempunyai kesibukan sendiri-sendiri, dan aku juga tidak terlalu mengharapkannya, karena kuyakin pasti akan bertambah kesedihanku kalau seandainya mereka mengantarkanku.

"Waa'laikumsalam" jawabku agak keras.

Malamnya aku dan Dina menginap di pondok putri Bahrul Ulum, pondoknya Yai Imam. Paginya baru kita berangkat ke Jakarta dengan naik kereta api dari Stasiun Jombang ditemani Ustadz Ibrahim, Ustadz Muhammad dan tak lupa Yai Imam sebagai mediator utamanya. Di tengah jalan aku dan Dina tidak henti-hentinya mengucapkan rasa terimakasih pada Yai Imam, karena lantaran beliaulah kita bisa berangkat, mulai dari pengurusan-pengurusan administrasi yang langsung ditangani beliau dan staff-staffnya, kita tidak perlu capek hingga surat jaminan nominal uang 25 juta, yang tak mungkin kita dapatkan tanpa bantuan beliau.

Sampai di Jakarta menjelang dhuha keesokan harinya, sambil melepas lelah dan mengecek kembali semua barang, untuk sementara kita menginap di rumah saudaranya Yai Imam, rumahnya lumayan dekat dengan Bandara Soekarno-Hatta. Setelah itu tepat jam 09.00 pagi tanggal 19 oktober 2008, aku beserta 15 temanku berangkat ke Cairo ditemani Ustadz Ibrahim.


The End

Catatan:

Abah, I'ndaka waqt qalil lii: Abah, adakah waktu sebentar buat saya?

Abah : adalah nama panggilan bagi seorang kyai sekaligus pengasuh pesantren di daerahku.

Ndalem : sebutan untuk tempat kediaman atau rumah tinggal Abah serta Ibu Nyai sekeluarga.

Li ayyi sya'in: untuk apa?.

Ana urid an atakhaddats a’n syai' finnafsi : saya ingin ngobrol tentang sesuatu yang ada dalam diriku.

Nglesot : jalan sambil duduk nyeret kaki sebagai tanda tawadhu' ketika berhadapan dengan keluarga Pak Kyai.

Insyaallah ba'da dzuhur, ya Aina : insyaallah, setelah dzuhur, Aina.

Khadim : santri yang ikut keluarga ndalem, membantu mereka sekaligus belajar di pondok tapi tidak dipungut biaya.

Mandek : stagnan atau jumud.

Dhomir Naa : kata ganti orang pertama jamak dalam bahasa Arab tapi terkhusus ketika bersambung dengan kalimah huruf, fi'il ataupun isim yakni dalam kondisi apapun dia tidak berubah bentuk, tetap Naa.

Uwanen : ubanan alias tua.

Sahhilna, Ya Robb : mudahkan kami, Ya Robb.

Wong : orang.

Anak Koretan : nama panggilan untuk anak bungsu di daerahku artinya yah…anak terakhir.

Salut : kagum

Ibu, Aina pingin nerusaken wonten Mesir : Ibu, Aina ingin meneruskan sekolah ke Mesir.

Keteteran : berantakan.

Pepek : komplit, lengkap, sempurna.

Ngoyot : berakar maksudnya di pondok seakan-akan berakar kuat, kelamaan, tua di pondok.

Piye…piye…nduk? Arep cerito opo? : gimana…gimana…nak? mau cerita apa?.

Halah…opo cita-citamu iku : halah (berbelit-belit) apa cita-citamu itu?.

Aina, gadah kekarepan nerusaken kuliah wonten Mesir : Aina, punya cita-cita kuliah di Mesir.

Kocar-kacir : berantakan.

Syahadah : ijazah tanda khatam Al-qur'an yang diserahkan pada santri Hafidzoh (penghapal AL-qur'an) sekaligus sanad qira'ahnya yaitu sampai ke Nabi SAW, kebetulan di pondokku menggunakan sanadnya Imam Hafsh.

Duko : marah.

Kuliah yo kuliah, hapalan yo hapalan, siji-siji ae, ojo dicampur, ntar malah nush-nush gak hasil karo-karone : kuliah ya kuliah, hapalan ya hapalan, jangan dicampur ntar malah separo-separo tidak berhasil kedua-duanya.

Nggeh : iya.

Syukron : terimakasih.

Afwan : terimakaih kembali.

Sampean : kamu.

Mumet : pusing, pening.

Risywah : suap.

Mbok yah istirahat dulu tho mbak, nginep lagi malam ini, gak bayar ndak papa: sebaiknya istirahat dulu dong mbak, nginap lagi malam ini, gak bayar gak papa.

Kulaan : belanja banyak.

Ndlesep : mancung ke belakang alias pesek.

Ngetrell : ngebut.

Fardhu a'in : wajib.

Tlaten : istiqomah, semangat.

Anak buntutku : anak ekorku maksudnya anak bungsuku.

Catatan Akhir Ramadhan: kenang2an Ramadhan 1430 H

Bismillahirrahmaanirrahiim
Majlis A’la, Penghujung Ramadhan 1430

Gara-gara Flu Babi

“Mbak, pakai selimut gih, biar tubuhnya anget dan bisa keluar keringat kalau pakai jaket ana kira lom manjur obatnya”
“oh gitu yah… tapi selimut kakak kotor dek, gmn coba?”
“santai aja pakai punyaku. Aku menawarkan selimutku pada kakak seniorku. Kak Kiki namanya. Dia orang terlama yang tinggal di Majlis A’la. Dan aku pindah ke sana baru seminggu yang lalu. Selain Kak Kiki temanku dari Indonesia ada 5 orang diantaranya Kak Rara, Kak Santi, Kak Jia, begitu juga teman seletingku Iin dan Ninis.
Kali ini aku kasihan sekali melihat kondisi Kak Kiki dia sakit demam tinggi disertai batuk dan sakit kepala. Karena aku merasa sehat-sehat saja, itung-itung amal ibadah di bulan puasa, aku pinjamkan selimut tipis satu-satunya milikku itu, selimut khusus musim panas. Sebenarnya dalam benakku, aku juga merasa takut dengan kesehatanku. Tak tahu kenapa, semenjak di Mesir kondisi tubuhku terbilang kurang stabil, apalagi kalau sedang pergantian musim, seperti sekarang ini. Setiap tidur malam aku selalu memakai selimut, meskipun musim panas. Begitu juga ketika menyalakan kipas angin, aku selalu memencet tombol nomer 5, alias tombol mati rasa demikian teman-temanku menyebutnya, karena angin yang dihasilkan pasti tidak memuaskan. Tak lupa dengan jendela, kalau mau tidur malam pasti aku tutup. Aku paling takut dengan angin malam. Untungnya orang yang sekamar dengan aku selalu kebetulan mempunyai kebiasaan yang sama, kurang suka kipas angin. Syukur dengan alternatif seperti itu aku jarang sakit. Tapi entah ketika Ramadhan, aku tidak pernah absen dari sakit, mungkin sejauh yang kurasakan, pergantian musim kebetulan selalu tepat bulan Ramadhan. Memang sudah nasib, meski sudah aku cegah, ada saja penyebab lain yang tak sengaja membuatku sakit. Pergantian musim membuatku mengerti betapa indahnya nikmat sehat yang diberikan oleh Allah. Seperti di hari keduabelas Ramadhan ini, menjelang makan sahur tenggorokanku terasa kering , badan tiba-tiba demam dan flu yang membuat kepala pening. Aku putar otakku ke pusat penyimpanan memori “waduh… ini salahku udah tahu pergantian musim kenapa semalem aku minum es tamer hindi, setelah itu minum haga sa’ah lagi, ma’as salamah… .“ Memang terkadang kita lalai kalau mencegah itu lebih baik daripada mengobati. Akhirnya secara terpaksa aku pinjam selimut Ninis yang kebetulan nganggur.
“Wah… dek selimutnya muter dunk” kata Kak Kiki setelah tahu aku memakai selimut Ninis.”ma’alisylah kalo’ adek ikutan sakit”
“iya mbak… hehe santai aja, memang sudah waktunya sakit”
Beberapa saat kemudian tepat setelah solat subuh aku dikejutkan oleh suara tangisan dari ranjang tepat di atas ranjangnya Kak Kiki. Setelah aku lihat ternyata Kak Rara menangis kesakitan.
“dek… aku demam tinggi banget… aku takut… ini flu babi gak yah…cz barusan aku buka di google, nih baca gejalanya sama banget.” Sambil menyodorkan hp ke hadapanku ”2 orang presiden abis pulang dari tugasnya pas pemeriksaan di Bandara terpaksa diisolasi gara-gara terkena Flu Babi, lagian tiap malem kita ikutan nadwah ke Husein dan banyak turisnya, aku takut dek ketularan Flu Babi?”
Aku sempat ketawa mendengar keluhan dan ketakutan dia, maklum semalam nadwahnya tentang Flu Babi dan pematerinya adalah Mentri Kesehatan Mesir. Aku beranggapan Kak Rara pasti terhipnotis oleh keterangan-keterangan yang dia tangkap semalam.
“udah kak santai aja, aku juga sakit kayak kakak dan seperti ini aku seriing ngerasain pas pergantian musim, Insyaallah cepat sembuh kok asal minum obat”
“dek… aku takut berobat di Mesir, abis minum obat dari dokter Mesir terkadang jantung kakak terasa sakit banget. Aku mau nelpon KBRI dek, mumpung deket biar dikasih tahu RS mana yang pas buat kita, lagian kita berempat sakit semua, jadi kita punya alasan kuat untuk meminta tolong mereka” kembali Kak Rara ketakutan. Di saat yang sama Ninis juga mengeluh kurang enak badan dengan gejala yang persis seperti aku, sehingga pasien bertambah 2 orang, Kak Rara dan Ninis.”
“terserah kakak deh… “
Sore harinya Ibu Nela pegawai konsuler dengan sopir tak tahu siapa, aku belum sempat kenalan, menjemput kami berempat. Kita dibawa ke RS. Humayatul Abbasyah. Ternyata di sana banyak sekali pasien dengan gejala yang tidak jauh berbeda dengan kita. Setelah daftar, dokter memberi thermometer pengukur suhu panas tubuh pada kita, kemudian satu per satu kita diperiksa dan dilihat tensi darahnya. Dan hasilnya Alhamdulillah kita negatif, alias tidak terkena Flu Babi. Kita bertiga hanya di suruh untuk istirahat cukup. Beda dengan Kak Rara selain istirahat cukup dokter menyuruh dia untuk infus tanpa opname.
Sambil menunggu Kak Rara selesai diinfus, aku istirahat di mobil. Di dalam mobil aku perpikir, kenapa sakitnya Kak Rara lebih parah dari kita bertiga, padahal gejalanya sama dan waktu sakitnyapun hampir bersamaan. Aku ingat pernah sharing dengan temanku mengenai kasus yang sama seperti ini yaitu ada penyakit yang dipicu dengan keadaan jiwa seseorang atau disebut dengan psikosomatik. Misalnya, gara-gara stress asam urat bisa bertambah. Dari awal Kak Rara sudah takut dengan penyakitnya, takut kalau terkena Flu Babi. Akibatnya ketakutan itulah yang justru mempengaruhi psikologi dia dan menjadikan kondisi tubuhnya lebih lemah dibanding kita bertiga.
Setelah semua selesai kita di antar kembali ke asrama. Di perjalanan aku melihat Bu Nela sibuk menerima telpon. Bolak-balik handphonenya berdering menanyakan bagaimana hasil diagnosa dokter, apakah kita terkena Flu Babi atau tidak. Tak kusangka gara-gara takut terkena Flu Babi, banyak pegawai KBRI menghawatirkan kondisi kesehatan kita. Sesampai di asrama pun para ablah menanyakan hal yang sama. “Ya robb… padahal hanya sakit demam biasa” batinku “semua gara-gara Flu Babi”.
Yah… jangan salahkan jika manusia selalu dirundung rasa khawatir, rasa takut atas musibah. Meski hanya demam dan flu biasa, jangan remehkan apalagi sekarang lagi gencar-gencarnya penyakit Flu Babi. Sebagai manusia kita hanya bisa berusaha mencegahnya. Membiasakan cuci kaki, wajah dan telapak tangan setelah keluar rumah adalah salah satu cara mencegah penyakit Flu Babi. Siapa tahu???… Naudzubillah. Semoga Allah melindungi kita. Amien.